Sebelum aksara Batak yang dikomputerkan dulu pernah ada huruf cetakan yang digunakan oleh berbagai penerbit di Amsterdam, Wuppertal, Batavia, dan Laguboti untuk mencetak surat Batak versi Toba. Berikut ini jenis-jenis huruf yang pernah digunakan oleh pihak zending di Jerman (Elberfeld), di Tanah Batak (Laguboti) maupun oleh Landsdrukkerij atau percetakan negeri (Batavia). Tentu saja yang dipakai oleh percetakan adalah bentuk yang sudah distandardisasi sementara dalam naskah-naskah asli terdapat keragaman pada bentuk yang diakibatkan oleh berlainan daerah (misalnya Silindung, Humbang, Toba, Uluan, Samosir, dsb) dan berlainan tradisi yang diturunkan oleh para datu yang menjadi ahli aksara dalam masyarakat Batak tempo dulu.
Tabel berikut membandingkan huruf cetakan zending dengan huruf yang terdapat dalam pustaha:
Mari berikut ini kita simak berbagai varian aksara Batak Toba yang saya ambil dari enam pustaha yang ditulis oleh enam orang yang berbeda dan yang berasal dari enam daerah yang berbeda di Toba, Samosir, dan Silindung. Keenam pustaha dibandingkan dengan Font Aksara Batak yang diciptakan oleh Uli Kozok:
Perbedaan Font Komputer dengan huruf cetakan Zending dan Landsdrukkerij tidak terlalu menonjol, akan tetapi terdapat beberapa kejanggalan: Na versi Laguboti memiliki ekor ke kanan yang terlalu panjang sementara bundaran pada ketiga huruf cetakan terlalu kecil. Kejanggalan itu diperbaiki pada font komputer.
Pada aksara Ta terdapat dua bentuk yang kira-kira sama umum dapat ditemukan pada naskah Toba: yaitu ta-utara
Aksara MA yang digunakan oleh Landsdrukkerij Batavia merupakan bentuk yang sangat disederhanakan dan yang hanya ditemukan di Mandailing. Di Toba bentuk ini tidak dapat ditemukan. Bentuk huruf Ma diperbaiki sedemikian rupa pada font komputer sehingga paling sesuai dengan bentuk yang paling sering ditemukan pada pustaha-pustaha Batak.
Huruf cetakan Zending dan Landsdrukkerij, walaupun tidak sepenuhnya memuaskan, masih jauh lebih baik daripada nasib yang menimpa aksara Batak di zaman kemerdekaan.
Huruf cetakan zending hilang selama perang dunia ke-2 dan terpaksa orang kembali menggunakan tulisan tangan. Masalahnya pada waktu itu sudah tidak ada lagi orang yang masih betul-betul menguasai tradisi menulis dengan aksara Batak. Hasilnya betul-betul menyedihkan:
Ada beberapa buku sekolah yang mengajarkan bentuk-bentuk aksara “Toba” yang serba aneh dan sama sekali berbeda dengan naskah-naskah asli. Hurufnya cuga lebih dekat ke Mandailign daripada Toba. Aksara juga berbeda-beda tergantung pada penulisnya. Jadi para siswa yang mempelajari aksara Batak di sekolah tidak sanggup membaca naskah Toba karena aksaranya sudah berbeda total. Yang juga sangat mengganggu adalah keindahan aksara asli Batak yang sudah hilang sama sekali. Huruf-huruf baru yang diciptakan oleh berbagai pengarang (dan tentu saja semua klaim keaslian aksara yang mereka ciptakan) kehilangan proporsi dan kesimbangannya.
Kalau Anda mau melihat contoh yang betul-betul luar biasa jelek dan aneh lihat tabel “Aksara Daerah” pada halaman 1341 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, 2002.
Nah, itu hanya sala satu dari puluhan versi “aksara Batak” yang beredar pada saat itu (dan sampai sekarang masih beredar) dan keadaannya menjadi betul-betul tidak karuan dan sangat memprihatinkan. Unsur seninya juga hilang sama sekali. Ini sebuah contoh aksara yang tidak karuan (dan juga mengandung sejumlah kesalahan karena penulisnya tidak betul-betul memahami sistem tulisan Batak). Sebelah kanan tampak versi yang sudah diperbaiki dan yang sudah benar aksara Bataknya:
No comments:
Post a Comment